Soal penyeludupan manusia dan imigrasi, pemerintah Australia di bawah PM
Tony Abott bisa sangat lantang. Baru-baru ini pemimpin Partai Liberal itu
mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar melanjutkan kerjasama di bidang
imigrasi. Menanggapi komentar SBY bahwa pihaknya akan berupaya memperbaiki
hubungan dengan negeri jiran selambatnya Juli tahun depan, Abott berkata,
"Saya mengharapkan kerjasamanya dilanjutkan jauh sebelum itu,"
ujarnya kepada media.
Chris Bowen, juru bicara oposisi mengritik Abott sedang menjalankan
"diplomasi megaphone," karena memilih "berbicara lewat
media" ketimbang menggunakan jalur diplomasi langsung ke istana negara di
Jakarta. "Bukan begitu caranya berhubungan dengan tetangga," kata
Bowen. Abott selama masa kampanye berjanji akan menghindari praktik semacam itu
terhadap Indonesia.
Kisruh terkait kebijakan anti penyeludupan di Canberra menggambarkan
rasa frustasi pemerintah Australia menyusul keretakan hubungan dengan Indonesia
akibat skandal penyadapan beberapa waktu lalu. Abott yang terpilih dengan janji
kampanye menghentikan penyeludupan manusia, menghadapi tekanan ketika Jakarta
membekukan kerjasama di bidang imigrasi.
Selama ini Australia mengandalkan Papua Nugini untuk menampung
pengungsi. Kebijakan yang disebut "Solusi Papua" itu menelan biaya
sekitar 1,8 milliar US Dollar dalam waktu empat tahun. Sejak akhir 2012
Australia mengelola kamp pengungsi di pulau Nauru dan Manus.
Gonjang-ganjing soal perahu nelayan
Gonjang-ganjing soal perahu nelayan
"Lihat, kami akan menghentikan penyeludupan. Sederhana saja,"
katanya. "Dan pesan saya untuk para penyeludup, waktu kalian sudah
habis."
Pemerintah Australia, Senin (16/12/13), membatalkan rencana pembelian
perahu nelayan menyusul sikap Indonesia yang menolak kebijakan tersebut.
Sebagai gantinya dana sebesar 20 Juta Dollar Australia yang sudah disiapkan
pemerintah akan dialihkan untuk kampanye media anti penyeludupan di sejumlah
negara.
Pemerintahan Abott juga terpaksa membatalkan kebijakan pemberian imbalan
untuk menangkap penyeludup. Indonesia sebelumnya menilai kedua kebijakan itu
mencampuri urusan dalam negeri. Hal senada juga dingkapkan oleh pakar imigrasi
dari Partai Buruh, "Masalah terbesar kebijakan ini adalah ia membebani
hubungan kita dengan Indonesia," kata Richard Marles.
Rencana pembelian perahu untuk mencegah nelayan menjualnya kepada para
penyeludup merupakan salah satu janji kampanye Abott jelang pemilihan umum
September silam. Abott sendiri bersikukuh, "Kami tetap akan menjalankan
kebijakan sesuai dengan janji kampanye," sanggahnya.
Diskriminasi hukum terhadap pengungsi
Diskriminasi hukum terhadap pengungsi
Pemerintah Australia juga dihujani kritik lantaran memaksa pengungsi
untuk menandatangani perjanjian keamanan. Menurut kebijakan tersebut, seorang
pengungsi bisa kehilangan izin tinggal jika "berprilaku asosial" atau
"berbohong pada pegawai pemerintah."
Sederet aturan soal tata cara berprilaku yang disusun Kementrian Imgrasi
untuk pengungsi itu dinilai melanggar konstitusi.
"Kita memiliki aturan bersama yang disebut Konstitusi Australia dan
ini berlaku untuk semua orang," kata pakar imigrasi Partai Hijau,
Hanson-Young. Menurutnya langkah pemerintah membuat aturan khusus untuk
sekelompok orang adalah bentuk "diskriminasi."
Oposisi yang terdiri dari aliansi Buruh dan sejumlah partai lainya
berencana menggagalkan kebijakan tersebut lewat parlemen.
Pamela Curr, Koordinator di Asylum Seeker Resource Centre, mengecam,
"Pemerintah membuat hukuman tanpa pengadilan sehingga sang menteri bisa
memutuskan apakah seseorang pantas dihukum, tanpa berkonsultasi dengan polisi
atau lembaga yudikatif."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar