city lake

city lake

Kamis, 05 Februari 2015

Pro Kontra Pengaturan Tiket Pesawat Murah



            Selepas insiden jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di selat Karimata, Menhub Ignasius Jonan berencana menerapkan kebijakan tarif penerbangan batas bawah yang nominalnya minimal 40 persen dari tarif batas atas. Artinya, maskapai tidak boleh lagi mematok harga super murah sesuka hati seperti yang selama ini terjadi. Dengan kebijakan tersebut, maskapai diharapkan memiliki ruang finansial dan lebih mengedepankan standar keamanan.

          Apakah ada jaminan tiket mahal, penumpang pasti selamat? Terbukti Garuda, Singapore Airlines, Air France, Japanese Airlines pernah mengalami kecelakaan. Nasib penumpang tidak tergantung pada tiket mahal atau murah. Jika tiket murah, apakah faktor keselamatan menjadi murahan juga?

            Bagaimana dong logikanya, murah kok minta selamat. Apalagi sekarang dolar sudah mahal. Itulah berbagai pernyataan di media sosial yang menunjukkan pro-kontra atas kebijakan Kementerian Perhubungan berupa perubahan penetapan batas bawah harga tiket penerbangan.

            Muhammad Alwi, direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, menyatakan kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 91 Tahun 2014 itu membuat tak ada lagi harga tiket di bawah Rp 500.000. Kebijakan baru Menteri Perhubungan Ignasius Jonan itu jelas mengagetkan publik, yang selama ini menikmati penerbangan dengan tarif di bawah Rp 500.000. Bahkan banyak juga yang di bawah Rp 400.000. Dengan tiket berharga terjangkau itu, bandar udara (bandara) besar di Tanah Air menjadi hiruk-pikuk oleh keramaian calon penumpang. Atau, disesaki orang-orang yang baru tiba dengan penerbangan bertarif murah.

            Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Kota Tangerang, juga masuk daftar 10 bandara tersibuk di dunia. Itu bisa terjadi karena masyarakat yang sebelumnya tak berpikir bisa naik pesawat, kini bisa mewujudkan keinginan mereka.

            Gejala itu dipotret sebuah maskapai penerbangan kategori low cost carrier (LCC), yang mengusung semboyan ”Everyone Can Fly”. Karena itu, banyak orang kecewa atas kemunculan kebijakan yang memberatkan mereka. Kebijakan itu muncul setelah terjadi kecelakan pesawat Air Asia QZ8501, baru-baru ini. Pihak yang kecewa menilai, kebijakan itu mengambinghitamkan tiket murah setelah terjadi kecelakaan terhadap Air Asia yang masuk kategori LCC.

            Kebijakan baru itu juga seakan-akan menyeret publik ke adagium lama bahwa sesuatu yang murah identik dengan asalasalan, yang berujung pada ketidakselamatan. Pada berbagai kesempatan Jonan menyatakan pada prinsipnya lewat kebijakan baru itu, pemerintah membantu ”ruang keuangan” yang cukup untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan, standar keselamatan dan pelayanan.

            Adalah logis perawatan pesawat, termasuk harga suku cadang yang dipengaruhi oleh nilai dolar AS karena harus impor, menjadikan biaya komponen lebih mahal. Faktanya, kini banyak harga tiket penerbangan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket kereta api kelas eksekutif. Jonan membandingkan harga tiket kereta api rute Jakarta- Surabaya dan Jakarta-Yogyakarta yang kini sama, bahkan lebih mahal ketimbang harga tiket pesawat.

            Padahal, biaya perawatan pesawat lebih mahal dan risiko yang dihadapi lebih tinggi. Masih Untung Namun argumentasi Jonan tak sepenuhnya dapat diterima. Sebab, maskapai penerbangan LCC bertarif terjangkau atau murah pun masih untung. Pasar LCC di Indonesia pun tumbuh sangat pesat. Orang yang semula naik kereta api eksekutif pun mulai berpaling ke penerbangan LCC. Mereka mempertimbangkan kecepatan waktu tempuh dan keekonomisan kereta api bila berpegang pada prinsip waktu adalah uang. Faktor kekurangnyamanan hanya dalam waktu satu jam penerbangan bukan kendala bagi kebanyakan orang. Salah satu kritik datang dari Wakil Ketua Komisi V DPR Yudi Widiana.

            Dia mengemukakan pemberian izin operasi maskapai penerbangan melayani rute dan menjual tiket dengan harga relatif murah, jelas menunjukkan maskapai bersangkutan telah memenuhi berbagai prosedur yang ditetapkan pemerintah. Tentu dalam pemberian izin itu pemerintah tidak akan mengabaikan faktor keselamatan.

            Bila dalam proses sebuah maskapai diketahui tak bisa memenuhi syarat keselamatan, tidak mungkin diberi izin. Jadi selama ini LCC yang telah membantu rakyat memenuhi kebutuhan transportasi yang cepat dan harga terjangkau tidak masalah lagi dalam hal keselamatan. Maka membenturkan tarif murah dan keselamatan bukan langkah yang tepat, kecuali terbukti pemenuhan syarat faktor keselamatan maskapai LCC selama ini bisa dijualbelikan oleh oknum aparat pemerintah yang berwenang di bidang itu. Dari berbagai argumentasi itu, kita patut menduga dan curiga berkait dengan banyak hal. Pertama, benarkah selama ini tarif penerbangan murah tidak bisa mengatasi biaya keselamatan?

            Bila itu terjadi, berarti selama ini izin yang diberikan berdasar proses abal-abal, yang mengabaikan faktor keselamatan. Kedua, benarkah kebijakan itu merupakan upaya pemerintah menyelamatkan transportasi darat dan laut yang berpotensi terdesak oleh bisnis LCC yang tumbuh sangat pesat?

            Sehingga bahkan sampai mengundang pemain asing untuk berkiprah memberikan jasa layanan kepada rakyat Indonesia. Lalu, kecelakaan terhadap Air Asia digunakan sebagai pintu masuk untuk menyelamatkan transportasi darat dan laut. Kita tentu berharap segera memperoleh jawaban atas kondisi yang sebenarnya.(Hartono Harimurti-51)

Sumber :
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pro-kontra-tiket-murah-pesawat/
http://blog.kompasiana.com/2015/01/07/tarif-penerbangan-super-murah-dihapus-setuju-715132.html
http://brita.indo.com/2015/01/pro-kontra-tiket-murah-pesawat-dari-berbagai-pihak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar