Selepas insiden jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di
selat Karimata, Menhub Ignasius Jonan berencana menerapkan kebijakan tarif
penerbangan batas bawah yang nominalnya minimal 40 persen dari tarif batas
atas. Artinya, maskapai tidak boleh lagi mematok harga super murah sesuka hati
seperti yang selama ini terjadi. Dengan kebijakan tersebut, maskapai diharapkan
memiliki ruang finansial dan lebih mengedepankan standar keamanan.
Apakah ada jaminan
tiket mahal, penumpang pasti selamat? Terbukti Garuda, Singapore Airlines, Air
France, Japanese Airlines pernah mengalami kecelakaan. Nasib penumpang tidak
tergantung pada tiket mahal atau murah. Jika tiket murah, apakah faktor
keselamatan menjadi murahan juga?
Bagaimana
dong logikanya, murah kok minta selamat. Apalagi sekarang dolar sudah mahal.
Itulah berbagai pernyataan di media sosial yang menunjukkan pro-kontra atas
kebijakan Kementerian Perhubungan berupa perubahan penetapan batas bawah harga
tiket penerbangan.
Muhammad
Alwi, direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan, menyatakan kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 91 Tahun 2014 itu membuat tak ada lagi harga tiket di bawah Rp
500.000. Kebijakan baru Menteri Perhubungan Ignasius Jonan itu jelas
mengagetkan publik, yang selama ini menikmati penerbangan dengan tarif di bawah
Rp 500.000. Bahkan banyak juga yang di bawah Rp 400.000. Dengan tiket berharga
terjangkau itu, bandar udara (bandara) besar di Tanah Air menjadi hiruk-pikuk
oleh keramaian calon penumpang. Atau, disesaki orang-orang yang baru tiba
dengan penerbangan bertarif murah.
Bandara
Soekarno-Hatta Cengkareng, Kota Tangerang, juga masuk daftar 10 bandara
tersibuk di dunia. Itu bisa terjadi karena masyarakat yang sebelumnya tak
berpikir bisa naik pesawat, kini bisa mewujudkan keinginan mereka.
Gejala
itu dipotret sebuah maskapai penerbangan kategori low cost carrier (LCC), yang
mengusung semboyan ”Everyone Can Fly”. Karena itu, banyak orang kecewa atas
kemunculan kebijakan yang memberatkan mereka. Kebijakan itu muncul setelah
terjadi kecelakan pesawat Air Asia QZ8501, baru-baru ini. Pihak yang kecewa
menilai, kebijakan itu mengambinghitamkan tiket murah setelah terjadi
kecelakaan terhadap Air Asia yang masuk kategori LCC.
Kebijakan
baru itu juga seakan-akan menyeret publik ke adagium lama bahwa sesuatu yang
murah identik dengan asalasalan, yang berujung pada ketidakselamatan. Pada
berbagai kesempatan Jonan menyatakan pada prinsipnya lewat kebijakan baru itu,
pemerintah membantu ”ruang keuangan” yang cukup untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan,
standar keselamatan dan pelayanan.
Adalah
logis perawatan pesawat, termasuk harga suku cadang yang dipengaruhi oleh nilai
dolar AS karena harus impor, menjadikan biaya komponen lebih mahal. Faktanya,
kini banyak harga tiket penerbangan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket
kereta api kelas eksekutif. Jonan membandingkan harga tiket kereta api rute
Jakarta- Surabaya dan Jakarta-Yogyakarta yang kini sama, bahkan lebih mahal
ketimbang harga tiket pesawat.
Padahal,
biaya perawatan pesawat lebih mahal dan risiko yang dihadapi lebih tinggi.
Masih Untung Namun argumentasi Jonan tak sepenuhnya dapat diterima. Sebab,
maskapai penerbangan LCC bertarif terjangkau atau murah pun masih untung. Pasar
LCC di Indonesia pun tumbuh sangat pesat. Orang yang semula naik kereta api
eksekutif pun mulai berpaling ke penerbangan LCC. Mereka mempertimbangkan
kecepatan waktu tempuh dan keekonomisan kereta api bila berpegang pada prinsip
waktu adalah uang. Faktor kekurangnyamanan hanya dalam waktu satu jam
penerbangan bukan kendala bagi kebanyakan orang. Salah satu kritik datang dari
Wakil Ketua Komisi V DPR Yudi Widiana.
Dia
mengemukakan pemberian izin operasi maskapai penerbangan melayani rute dan
menjual tiket dengan harga relatif murah, jelas menunjukkan maskapai
bersangkutan telah memenuhi berbagai prosedur yang ditetapkan pemerintah. Tentu
dalam pemberian izin itu pemerintah tidak akan mengabaikan faktor keselamatan.
Bila
dalam proses sebuah maskapai diketahui tak bisa memenuhi syarat keselamatan,
tidak mungkin diberi izin. Jadi selama ini LCC yang telah membantu rakyat
memenuhi kebutuhan transportasi yang cepat dan harga terjangkau tidak masalah
lagi dalam hal keselamatan. Maka membenturkan tarif murah dan keselamatan bukan
langkah yang tepat, kecuali terbukti pemenuhan syarat faktor keselamatan
maskapai LCC selama ini bisa dijualbelikan oleh oknum aparat pemerintah yang
berwenang di bidang itu. Dari berbagai argumentasi itu, kita patut menduga dan
curiga berkait dengan banyak hal. Pertama, benarkah selama ini tarif
penerbangan murah tidak bisa mengatasi biaya keselamatan?
Bila
itu terjadi, berarti selama ini izin yang diberikan berdasar proses abal-abal,
yang mengabaikan faktor keselamatan. Kedua, benarkah kebijakan itu merupakan
upaya pemerintah menyelamatkan transportasi darat dan laut yang berpotensi
terdesak oleh bisnis LCC yang tumbuh sangat pesat?
Sehingga
bahkan sampai mengundang pemain asing untuk berkiprah memberikan jasa layanan
kepada rakyat Indonesia. Lalu, kecelakaan terhadap Air Asia digunakan sebagai
pintu masuk untuk menyelamatkan transportasi darat dan laut. Kita tentu
berharap segera memperoleh jawaban atas kondisi yang sebenarnya.(Hartono
Harimurti-51)
Sumber :
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pro-kontra-tiket-murah-pesawat/
http://blog.kompasiana.com/2015/01/07/tarif-penerbangan-super-murah-dihapus-setuju-715132.html
http://brita.indo.com/2015/01/pro-kontra-tiket-murah-pesawat-dari-berbagai-pihak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar