Maraknya peredaran narkotika akhir-akhir ini membuka tabir yang cukup mencengangkan. Pasalnya, pengendalian jaringan narkotika dilakukan dari balik jeruji besi. Dari sebagian kurir yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) diketahui bahwa pelaku digerakan terpidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Ironisnya, pengendalian jaringan tersebut dilakukan para terpidana mati kasus narkotika. Salah satu kasus yang mencuat adalah Meirika Franola alias Ola. Meski hukuman Ola telah berubah menjadi seumur hidup setelah diberikan grasi, perempuan ini kembali terlibat bisnis narkotika bersama seorang kurir berinisial NA.
Sama halnya dengan Adam Wilson. Terpidana mati asal Nigeria ini masih menjalankan bisnis narkotika walau telah menjalani masa hukuman selama 10 tahun di LP Kembangkuning. Pengungkapan keterlibatan Adam diketahui setelah BNN menangkap tiga kurir berinisial ES, HS, dan SA yang membawa 8,7 kilogram sabu dari India.
Kasus lain yang lebih menghebohkan adalah penangkapan tujuh terpidana dari tiga LP berbeda di Nusakambangan. Sylvester Obiekwe, Obina Nwajagu, Yadi Mulyadi ditangkap BNN di LP Batu, Hillary K Chimize dan Humprey Ejike ditangkap di LP Pasir Putih, sedangkan Ruddi Cahyono dan Hadi Sunarto ditangkap di LP Narkotika.
Sylvester, Obina, Humprey, dan Yadi diketahui sebagai terpidana mati. Sementara, Hillary yang semula dijatuhi pidana mati, hukumannya berubah menjadi 12 tahun setelah peninjauan kembalinya dikabulkan MA. Penangkapan Hillary sempat melibatkan seorang wartawati bernama Zakiah yang ditangkap lebih dulu di Sarinah, Jakata.
Dengan banyaknya terpidana mati yang ditangkap karena mengedalikan jaringan narkotika dari dalam LP, BNN mendesak Kejaksaan Agung untuk segera mengeksekusi terpidana mati. Jaksa Agung telah memerintahkan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi untuk menginventarisasi terpidana mati yang sudah tidak memiliki upaya hukum.
Dari 111 terpidana mati yang diinventarisasi, Jaksa Agung Basrief Arief mengungkapkan ada 12 terpidana yang sudah tidak memiliki upaya hukum. “Artinya, dari 12 ini sudah bisa dieksekusi karena upaya hukum, seperti banding, kasasi, dan PK, sudah tidak ada lagi. Tentunya terkait grasi nanti akan dilihat juga,” katanya, Jum’at (1/2).
Basrief mengaku, dalam rangka eksekusi, pihaknya sedang mempersiapkan dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Secara aturan, Kejaksaan selaku eksekutor tidak bisa menyampaikan waktu dan tempat terpidana mati akan dieksekusi, “Insya Allah dalam waktu dekat ini ada yang sudah akan kami lakukan eksekusi”.
Rencana eksekusi ini diamini Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Mahfud Mannan. Mahfud yang beberapa waktu lalu sempat ditemui di kantornya mengatakan, eksekusi harus dilakukan secara hati-hati karena menyangkut hak asasi terpidana. Dalam ketentuan UU, terpidana memiliki hak untuk mengajukan grasi maupun PK.
Walau dahulu batasan pengajuan grasi tidak diatur secara jelas, sejak berlakunya UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi, permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali paling lambat satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Terpidana yang belum mengajukan grasi, diberi waktu paling lambat satu tahun sejak UU mulai diberlakukan.
Namun, permasalahan eksekusi tidak hanya sebatas grasi. Masalah tenggat waktu pengajuan PK yang tidak diatur dalam KUHAP membuat Kejaksaan dilema untuk mengeksekusi terpidana mati. Mahfud seringkali menemukan terpidana yang mengaku mau mengajukan PK, tapi setelah sekian lama PK itu tidak kunjung diajukan.
“Ya itulah masalahnya. Kami berharap masalah ini bisa dipecahkan bersama karena KUHAP memang tidak memberi batasan waktu PK. Saya pikir masalah ini bisa disiasati nanti dalam pembahasan RUU KUHAP, supaya ada batasan dan kepastian. Selama tidak ada kepastian, kami juga takut karena nanti dianggap melanggar HAM,” ujarnya.
Mahfud menjelaskan, aturan KUHAP yang menyebutkan PK tidak menunda eksekusi tidak dapat diberlakukan sama bagi terpidana mati. Kejaksaan harus memastikan terlebih dahulu apakah terpidana mati sudah menggunakan semua haknya atau memang tidak ingin menggunakan haknya untuk mengajukan PK.
Untuk mengantisipasi terpidana mati yang sengaja mengulur-ngulur waktu dengan menyatakan PK, tapi kemudian PK itu tidak pernah diajukan, Mahfud membuat terobosan dengan memberikan waktu enam bulan untuk mengajukan PK. Terobosan ini mulai diberlakukan tahun 2013 untuk memberikan shock therapy.
“Saya sudah memprogramkan tahun 2013 harus ada yang dieksekusi. Kami berikan shock therapy karena kalau kami datang menanyakan PK, dia bilang mau, tapi maunya entah kapan. Karena tidak jelas maunya kapan, makanya kami kasih waktu enam bulan. Kalau enam bulan tidak juga mengajukan PK, ya kami eksekusi,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar